Friday, July 3, 2020

Belajar dari Katno, belajar jadi kaya

Baso dantahu baso yang siap dikemas untuk dijual.

Namanya Sukatno, seorang perantauan dari Ngawi , Jawa Timur. Meniti karir di kota Jakarta.  Selama ini bekerja  sebagai surveyor sebuah perusahaan riset pemasaran.  Tugasnya keliling kampung, mengetuk pintu demi pintu rumah warga untuk  diwawancara, diminta pendapatnya  tentang  suatu produk atau gossip yang beredar saat ini, atau entah apa saja. Kadang juga sampai keluar kota dia bertugas. Jakarta, Bogor, Sukabumi bahkan Garut. Sudah cukup lama bekerja dan mampu bertahan di ganasnya ibukota sampai mampu  menikah dan mencicil sebuah rumah di bilangan Cileungsi Bogor.

Pada suatu hari mampir ke rumahku. Melihat untaian teh  dan sirop  sachetan yang menggantung di stang dan badan sepedaku yang terparkir di ruang tamu. Maklum rumah kecil di Jakarta yang sempit.
“Itu apa mas?  Dagang ya?”

“Es teh? Mau aku bikinin? Gratis buat kamu mah.”

“Loh,  Bos kok dagang recehan?”

“Namanya hidup No, iseng-iseng berhadiah. Setiap kesempatan musti dicoba. Apalagi di lingkungan yang padat begini, anak-anak banyak . Disaat libur atau siang panas mereka pasti cari jajanan murah. Seribu perak sudah dapat minuman es dingin dan segar. Saya  juga jual es lilin buat variasi kalau mereka bosen dengan es sachetan”

“Iya yah. Cuman disimpen di sepeda gitu saja sudah ada yang beli.  Gak perlu tempat gede”

Lama tidak terdengar kabar darinya, sampai ketika melihat postingan di FBnya , dia jualan es teh sachetan juga.  Ketika kutanya “Dagang ‘No?

“Iya, kan ikutin bos.” Katanya.

Sebulan kemudian ada postingan baru lagi. Mi baso.
“No, dagang baso sekarang?”

“Iya, sepi kalo jualan es saja mah.. sekalian saja sama mi baso. Basonya bikin sendiri, enak loh”

“Oke, kapan-kapan aku mampir.”

Namun seiring berjalannya waktu. Dia menutup jualannya. “ Kenapa No?”

“Capek kalo jual mi baso mah. Pagi pergi ke pasar cileungsi buat giling baso. Siangnya dijual sampai malam. Besoknya pagi-pagi banget  berangkat lagi.  Untungnya kecil, capeknya berasa. Sekarang jualan baso aja tidak pakai mi, kalo ada yang minta baru bikin.  Sekarang turun lagi ke lapangan. Ambil kerjaan lagi. Kembali menjadi surveyor."

Sekian bulan tidak terdengar kabar, sampai kemudian memposting basonya yang sudah matang dan siap dibungkus plastik. "Wah basonya laku  sekarang?

Iya. Kemarin ada yang minta dibikinin. Aku bikinin lebih,  aku pasarkan ke tetangga dan lewat WA. Alhamdulillah ada yang minat. Sedikit-sedikit yang penting rutin. Dan selalu habis. Kali ini tidak terlalu capek. Bikin banyak sekali kemudian tungguin saja sampai laku dan habis. Kalo habis bikin lagi. Gitu aja terus dan Alhamdulillah lancar. Sekarang bayarnya bisa lewati online atau ATM . Tinggal pesen lewat WA atau FB, nanti kirim foto bukti bayar setelah di cek oke langsung dikirim . Gampang dan cepat. Dan kemudian postingan-postingan baso sering muncul di WA dan FBnya. Permintaan konsumen mulai naik. Dan dia pun mulai membuat tahu baso sebagai variasinya. Usahanya berjalan lancar, sedikit namun ada. Internet benar-benar  membantu. Tinggal duduk di rumah  dagangan langsung laku.

Kemudian datanglah Covid19. Banyak karyawan dirumahkan, banyak usaha sepi dan tutup.  Dan dia sudah lebih  fokus di baso dan tahu baso. Postingan makin gencar dan permintaannya dalam beberapa bulan terakhir makin meningkat. Karena  keuntungan yang diambilnya tidak banyak maka harga jual yang dia tawarkan tidak mahal, selain itu  rasanya enak.  Dimasa pandemi ini orang-orang yang awalnya beli untuk dikonsumsi sendiri  sekarang  membeli untuk dijual lagi. Sehingga akhirnya permintaan basonya naik berlipat-lipat, yang mengharuskan dia  mengangkat pegawai.  Sekarang dia  mempunyai 2 karyawan. Dan dalam sehari bisa mendapatkan laba bersih 500ribu rupiah. Rekeningnya di bank mulai menumpuk isinya.  Adiknya , seorang manager di suatu perusahaan akhirnya ikut  meniru bisnis ini,    usaha baso dan tahu basonya  di wilayah lain di Bogor.

Meniru adalah cara belajar yang paling mudah. Diawali dengan meniru jualan es teh dan sirop sachetan kemudian belajar  membuat baso  sampai akhirnya sukses di lingkungannya di Cileungsi. Semua itu proses. Menjadi baik, menjadi kaya, menjadi makmur , menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan lingkungannya di masa pandemi ini. Memang usahanya baru dirintis namun menurut saya sudah  pada relnya.

Hidup orang susah ditebak. Jika jalan didepan buntu kita harus memutar, jangan menunggu seseorang mengangkat kita dan membuatkan jalan kita. Awalnya adalah melihat kemudian mencoba, ketika  kita mentok artinya saatnya  adaptif dan segera  bermanufer.  Berbeda dengan usaha Katno yang sukses lewat  kreativitasnya dalam menangkap peluang, usaha saya hancur karena  tidak adaptif. Ketika tetangga kiri kanan  akhirnya ikut  jualan es lilin dan es teh sachetan di rumahnya.  Persaingan terjadi, Jualan mereka lebih banyak dan bervariasi juga ada tv dan tempat parkir sepeda.   Dagangan saya kalah, tidak laku yang akhirnya tutup.  Benar kata orang  Inovasi atau mati.

Saat ini usaha kecil di Indonesia sifatnya hanya untuk bertahan hidup. Mereka tidak memiliki jaringan luas. Bantuan sosial dari pemerintah jarang mereka dapatkan. Untuk naik kelas mereka belum pernah berfikir jauh.  Semoga usaha kecil Sukatno ada yang bantu dan mendapat dukungan pemerintah  sehingga bisa besar dan maju.

No comments:

Post a Comment