Baso dantahu baso yang siap dikemas untuk dijual. |
Namanya Sukatno, seorang
perantauan dari Ngawi , Jawa Timur. Meniti karir di kota Jakarta. Selama ini bekerja sebagai surveyor sebuah perusahaan riset
pemasaran. Tugasnya keliling kampung,
mengetuk pintu demi pintu rumah warga untuk diwawancara, diminta pendapatnya tentang suatu produk atau gossip yang beredar saat
ini, atau entah apa saja. Kadang juga sampai keluar kota dia bertugas. Jakarta,
Bogor, Sukabumi bahkan Garut. Sudah cukup lama bekerja dan mampu bertahan di
ganasnya ibukota sampai mampu menikah
dan mencicil sebuah rumah di bilangan Cileungsi Bogor.
Pada suatu hari mampir ke
rumahku. Melihat untaian teh dan
sirop sachetan yang menggantung di stang
dan badan sepedaku yang terparkir di ruang tamu. Maklum rumah kecil di Jakarta
yang sempit.
“Itu apa mas? Dagang ya?”
“Es teh? Mau aku bikinin? Gratis
buat kamu mah.”
“Loh, Bos kok dagang recehan?”
“Namanya hidup No, iseng-iseng
berhadiah. Setiap kesempatan musti dicoba. Apalagi di lingkungan yang padat
begini, anak-anak banyak . Disaat libur atau siang panas mereka pasti cari
jajanan murah. Seribu perak sudah dapat minuman es dingin dan segar. Saya juga jual es lilin buat variasi kalau mereka
bosen dengan es sachetan”
“Iya yah. Cuman disimpen di
sepeda gitu saja sudah ada yang beli.
Gak perlu tempat gede”
Lama tidak terdengar kabar
darinya, sampai ketika melihat postingan di FBnya , dia jualan es teh sachetan juga. Ketika kutanya “Dagang ‘No?
“Iya, kan ikutin bos.” Katanya.
Sebulan kemudian ada postingan
baru lagi. Mi baso.
“No, dagang baso sekarang?”
“Iya, sepi kalo jualan es saja mah..
sekalian saja sama mi baso. Basonya bikin sendiri, enak loh”
“Oke, kapan-kapan aku mampir.”
Namun seiring berjalannya waktu. Dia
menutup jualannya. “ Kenapa No?”
“Capek kalo jual mi baso mah.
Pagi pergi ke pasar cileungsi buat giling baso. Siangnya dijual sampai malam.
Besoknya pagi-pagi banget berangkat
lagi. Untungnya kecil, capeknya berasa.
Sekarang jualan baso aja tidak pakai mi, kalo ada yang minta baru bikin. Sekarang turun lagi ke lapangan. Ambil kerjaan
lagi. Kembali menjadi surveyor."
Sekian bulan tidak terdengar
kabar, sampai kemudian memposting basonya yang sudah matang dan siap dibungkus
plastik. "Wah basonya laku sekarang?
Iya. Kemarin ada yang minta dibikinin. Aku bikinin lebih, aku pasarkan
ke tetangga dan lewat WA. Alhamdulillah ada yang minat. Sedikit-sedikit yang
penting rutin. Dan selalu habis. Kali ini tidak terlalu capek. Bikin banyak sekali
kemudian tungguin saja sampai laku dan habis. Kalo habis bikin lagi. Gitu aja
terus dan Alhamdulillah lancar. Sekarang bayarnya bisa lewati online atau ATM .
Tinggal pesen lewat WA atau FB, nanti kirim foto bukti bayar setelah di cek oke
langsung dikirim . Gampang dan cepat. Dan kemudian postingan-postingan baso
sering muncul di WA dan FBnya. Permintaan konsumen mulai naik. Dan dia pun
mulai membuat tahu baso sebagai variasinya. Usahanya berjalan lancar,
sedikit namun ada. Internet benar-benar membantu. Tinggal duduk di rumah dagangan langsung laku.
Kemudian datanglah Covid19.
Banyak karyawan dirumahkan, banyak usaha sepi dan tutup. Dan dia sudah lebih fokus di baso dan tahu baso. Postingan makin
gencar dan permintaannya dalam beberapa bulan terakhir makin meningkat. Karena keuntungan yang diambilnya tidak banyak maka
harga jual yang dia tawarkan tidak mahal, selain itu rasanya enak.
Dimasa pandemi ini orang-orang yang awalnya beli untuk dikonsumsi
sendiri sekarang membeli untuk dijual lagi. Sehingga akhirnya
permintaan basonya naik berlipat-lipat, yang mengharuskan dia mengangkat pegawai. Sekarang dia mempunyai 2 karyawan. Dan dalam sehari bisa
mendapatkan laba bersih 500ribu rupiah. Rekeningnya di bank mulai menumpuk
isinya. Adiknya , seorang manager di
suatu perusahaan akhirnya ikut meniru bisnis ini, usaha baso dan tahu basonya di
wilayah lain di Bogor.
Meniru adalah cara belajar yang
paling mudah. Diawali dengan meniru jualan es teh dan sirop sachetan kemudian
belajar membuat baso sampai akhirnya sukses di lingkungannya di
Cileungsi. Semua itu proses. Menjadi baik, menjadi kaya, menjadi makmur ,
menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan lingkungannya di masa pandemi ini.
Memang usahanya baru dirintis namun menurut saya sudah pada relnya.
Hidup orang susah ditebak. Jika
jalan didepan buntu kita harus memutar, jangan menunggu seseorang mengangkat
kita dan membuatkan jalan kita. Awalnya adalah melihat kemudian mencoba,
ketika kita mentok artinya saatnya adaptif dan segera bermanufer. Berbeda dengan usaha Katno yang sukses lewat kreativitasnya dalam menangkap peluang, usaha
saya hancur karena tidak adaptif. Ketika
tetangga kiri kanan akhirnya ikut jualan es lilin dan es teh sachetan di
rumahnya. Persaingan terjadi, Jualan
mereka lebih banyak dan bervariasi juga ada tv dan tempat parkir sepeda. Dagangan
saya kalah, tidak laku yang akhirnya tutup. Benar kata orang Inovasi atau mati.
Saat ini usaha kecil di Indonesia
sifatnya hanya untuk bertahan hidup. Mereka tidak memiliki jaringan luas.
Bantuan sosial dari pemerintah jarang mereka dapatkan. Untuk naik kelas mereka
belum pernah berfikir jauh. Semoga usaha
kecil Sukatno ada yang bantu dan mendapat dukungan pemerintah sehingga bisa besar dan maju.
No comments:
Post a Comment