Tuesday, June 23, 2020

Gerbong Maut Bondowosa versi Belanda, tidak sengaja

Tiga gerbong kereta api tanpa jendela dan ventilasi berisi 100 orang pejuang Indonesia dibawa dari Bondowoso ke Surabaya di siang hari yang panas.

Hari itu Minggu 23 November 1947, sejumlah marinir di Bondowoso akan naik kereta untuk melakukan perjalanan ke Surabaya dan dari sana langsung ke Belanda dengan kapal. Namun, kejutan besar menunggu mereka .

Komandan Batalyon Infanteri Kedua, Letnan Kolonel Marinir H.A.G. van der Hardt Aberson, telah memimpin sebuah pertemuan di mana keputusan diambil untuk mengangkut 100 tahanan ke Surabaya untuk penahanan lebih lanjut.  Menggunakan  kereta api. Komandan menyerahkan tugas  ini kepada bawahannya. Diputuskan bahwa tiga gerbong barang akan digunakan untuk transportasi, yang akan digabungkan di Bondowoso ke kereta jurusan ke Surabaya.

Sub-komandan tidak menunjuk seorang komandan transportasi, atau personil keamanan, tetapi merekrut  marinir yang mau pulang. Seorang penulis utama sersan adalah pangkat tertinggi dan diangkat sebagai komandan transportasi. Pria itu tidak pernah terlibat dalam kegiatan operasional apa pun, karena selalu dibelakang meja.

Komandan menambahkan: "Sebelum perjalanan pulang Anda, tolong bantu saya, saya punya cangkir kotor untuk Anda.  Tiga gerbong dengan seratus tahanan, yang harus dibawa ke Surabaya. Di Surabaya orang siap untuk mengambil alih para tahanan ini ”.
Mereka juga diminta untuk menutup pintu gerbong, mencegah tahanan  untuk melarikan diri dan diingatkan bahwa penduduk tidak diizinkan untuk berada di dekat gerbong di stasiun nantinya.


Apa yang salah?

Itu bukan transportasi pertama dengan tahanan. 53 transportasi sudah dilakukan di Jawa Timur, dengan sekitar 3.000 tahanan diangkut tanpa insiden.  Anehnya,  pada transportasi  tahanan  sehari sebelumnya,  empat orang tewas. Ketika hal ini diperhatikan, Susana didalam sangat panas. KemudianpPintu dibuka dan minuman serta makanan disediakan . Sayangnya hal ini tidak dikomunikasikan pada pemimpin transportasi tanggal  23 November 1947. Sang mariner  tidak tahu apa-apa dan tidak beritahu kejadian sehari sebelumnya.  Apalagi  dia takut jika tahanan melarikan diri, bisa gagal mudik ke Belanda.

 Hari itu sangat panaas, sekitar empat derajat lebih banyak dari biasanya. Gerbong barang tidak dilengkapi untuk transportasi penumpang. Sebuah gerbong yang tidak terlalu besar, berisi 38 tahanan, memiliki atap baja, nyaris tanpa celah dan membuatnya  jadi  oven roti yang menyala. Semua dikukus didalamnya.
Perjalanan berlangsung 13 jam. Berhenti  di beberapa stasiun selama satu jam. Ketika kereta pergi, para pengawal mendengar para tahanan berbicara dan asap keluar dari celah. mereka pikir tahanan sedang merokok.. Tetapi ada yang menggedor-gedor pintu, berteriak minta air, dan berteriak macam-macam. Namun, para pengawal terus menutup pintu. Tidak peduli sama sekali.

Ketika kereta tiba di tujuan akhir, stasiun Wonokromo Surabaya. pengawas transportasi menemukan bahwa  di gerbong pertama semua tahanan selamat, di gerbong kedua  delapan tewas dan dari gerbong ketiga semuanya tewas 38 tahanan.  Dari total 100 tahanan, 46 tidak selamat.
Polisi Militer dipanggil. Marinir, yang mengurus transportasi, di tahan.
Komandan menginterogasi sepuluh orang yang selamat dari para tahanan. Di antara mereka yang selamat adalah orang-orang berpendidikan tinggi, yang berbicara cukup bahasa Belanda. Sejumlah tahanan dilaporkan dalam bahasa Melayu interogasi dengan bantuan penerjemah.
Gerbong maut yang tersisa di simpan di museum Brawijaya Malang

Enam marinir juga diinterogasi, termasuk sersan mayor. Baik tahanan dan penjaga memiliki cerita yang sama. Dewan Bela Diri Angkatan Laut di Hindia Timur pada bulan Juli 1948 sangat lunak dalam penilaiannya. Tidak ada niat jahat pada bencana itu. Sersan mayor, yang bertanggung jawab, dijatuhi hukuman satu bulan penjara. Kematian 46 tahanan tidak disengaja .
Pihak pengurus tahanan yang bertanggung jawab atas buruknya kondisi gerbong dan transportasi dijatuhi hukuman delapan bulan penjara, sersan mayor diberi 4,5 bulan.
Komandan Batalyon Infanteri Kedua, Letnan Kolonel H.A.G. van der Hardt Aberson tidak terkait, dia tidak mengganggu transportasi dan menyerahkannya kepada bawahannya.

Tanggapan di dalam dan luar negeri
Peristiwa Bondowoso memicu banyak reaksi, baik di dalam maupun luar negeri. Di Belanda, pertanyaan diajukan di House of Representative, yang dijawab oleh Menteri Wilayah saat itu, Jonkman. Dia menyembunyikan fakta bahwa sehari sebelumnya, empat orang sudah meninggal gara-gara gerbong yang panas.

Pada 23 November 1947, saya kembali pada malam hari ke Surabaya. Saya diberitahu oleh teman kerja bahwa sesuatu yang serius telah terjadi di stasiun di Surabaya. Wakil dari MP sudah pergi dan. Saya bisa bergabung kesana, jadi saya segera mencari gelang dan helm MP saya. Pemandangan setibanya di stasiun sangat mencengangkan. Itu malam itu dan stasiun remang-remang. Sejumlah gerbong berdiri di trek. Di peron, 54 tahanan duduk berbaris di tanah, benar-benar kuyu. Tidak jauh dari itu terbujur  46 orang mayat. Semuanya penduduk biasa yang  kurus  mengenakan pakaian kecil.   Seluruhnya mengingatkan saya pada gambar-gambar dari kamp konsentrasi pada Perang Dunia II. Terlebih lagi ketika sebuah truk tentara tiba, kemudian beberapa orang yang selamat  itu menumpukan temannya yang mati kedalam truk untuk diangkut ke tempat yang telah ditentukan. Yang selamat itu 12 orang sakit parah, 30 lemas tidak berdaya, hanya 12 orang yang terlihat sehat.


Artikel ini awalnya muncul di blog Pierre Swillens, 21 Maret 2013.

No comments:

Post a Comment